Minggu, 19 Juni 2011

RINGKASAN RIWAYAT HIDUP PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN #3

Sebagai Panglima Besar, banyak masalah yang dihadapi, bahkan seringkali pula beliau berbeda pendapat dengan Pemerintah. Di samping TKR yang pada tanggal 27 Januari 1946 di rubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), sebagai tentara kebangsaan yang resmi,terdapat pula lascar-laskar yang dibentuk oleh golongan atau partai politik tertentu. Hubungan antara kedua aparat pertahanan ini tidak selalu harmonis. Kesua kekuatan bersenjata ini yaitu TRI dan badan kelaskaran dipersatukan dalam satu organisasi tentara yaitu Tentara Nasonal Indonesia (TNI) tepatnya tanggal 3 Juni 1947.

Disamping itu sekutu secara berangsur-angsur murai menyerahkan daerah-daerah yang dikuasainya kepada Belanda. Pemerintah Indonesia dihadapkan kepada situasi yang sulit yang akhirnya melalui meja perundinganlah lahir persetujuan Linggarjati. Salah satu keputusan dalam perundingan antar pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda telah memperoleh kesepakatan untuk membentuk pemerintah federal yang bernama “Negara Indonesia Serikat”. Tetapi kemudian pemerintah belanda juga yang melanggarnya.  Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan agresinya yang pertama. Serangan itu dijawab langsung oelah Pangsar Jenderal Sudirman, dengan mengumumkan kata-kata sandi “Ibu pertiwi memanggil, Siap maju jalan”, berarti perintah langsung dari Pangsar untuk membalas serangan itu. Dengan tekad dan berpegang teguh pada pesan pangsar bahwa “kemerdekaan yang telah dimiliki dan dipertahankan jangan sekali-kali dilepaskan dan diserahkan kepada siapapun yang menjajah dan menindas kita” merupakan bekal yang cukup mempunyai arti dan makna yang dalan bagi pejuang untuk menghadapi lawan.

Sepuluh hari kemudian (31 Juli 1947) DK PBB menerima resolusi diadakannya genjatan senjata oleh kedua belah pihak (Indonesia - Belanda) dan agar perundingan dilanjutkan kembali. Perintah Cease fire diumumkan pada tanggal 4 agustus 1947 oleh presiden dan berlaku sejak jam 24.00 hari itu. Perundingan dimuali dnegan diawasi oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Belgia dan USA) di atas kapal Renville kepunyaan USA. Perundingan itu mencapai persetujuan dan ditanda tangani pada tanggal 17 januari 1948. Hasil perundingan ini sebenarnya cukup pahit bagi para pejuang karena harus meninggalkan kantong-kantng yang telah dikuasai dan harus hijrah ke luar daerah “garis Van Mook” menuju daerah RI.

Ketika memeriksa tentara yang hijrah ini di Borobudur, jenderal Sudirman memberikan amanat untuk menenagkan dan menabahkan hati mereka. Dikatakan “…kamu bukanlah tentara sewaan, tetapi prajurit yang berideologi yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran tanah airmu. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan suatu Negara yang didirikan di atas timbunan reruntuhan ribuan jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dihapuskan oleh manusia siapapun juga…”

Karena keadaan pejuang menuntut suatu susunan ketentaraanyang sesuai dengan situasi waktu itu, maka pada tanggal 27 Februari 1948 berdasarkan penetapan presiden no. 9/1948 jenderal Sudirman ditunjuk sebagai Panglima Besar angkatan Perang Mobil dengan wakilnya Mayjen A.H. Nasution.

Sebenarnya APRI sudah tidak percaya kepada taktik Belanda dengan perundngan-perundingan yang mereka adakan. ARPI terus membenahi diri menyusun taktik dan startegi serta berjaga-jaga bila sewaktu-waktu Belanda menyrang kembali. Disaat Pemerintah dan PARI masih menyusun tenaga. PKI dibawah pimpinan Muso mengadakan pemberonyakan di Madiun. Tanggal 18 September 1948 merupakan lembaran sejarah hitam bagi bangsa Indonesia karena pada hari itu PKI yang hendak mengambil keuntungan untuk mengabil kepentingan idiologisnya sampai hati menusuk bangsanya sendiri dari belakang. Pemerintah menghendaki pemberontakan ini segera ditumpas. Dalam hal ini Presiden dan Pangsar Jenderal Sudirman bertindak tegas. APRI diperintahkan menumpas pemberontakan PKI di Madiun ini. Dan dalam tempo 12 hari saja Madiun sudah dapat dikuasai kembali. Belum lagi luka-luka akibat pengkhianatan ini sembuh secara sempurna, Belanda kembali melancarkan agresinya yang kedua. Tanggal 19 Desembel 1948 merupakan tanggal yang tidak akan terlupakan bagi bangsa Indonesia, karena pada hari itu Belanda melancarkan serangannya ke Ibukota republic Yogyakarta dan daerah-daerah RI lainnya.

Pada tanggal 19 Desembel 1948 Belanda melancarkan serangan terhadap Indonesia , menerjunkan parasut ke lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta kemudian bergerak menuju Ibukota. Dengan demikian mulailah Agresi Militer II Belanda.

Menghadapi keadaan ini Jenderal Sudirman masih sakit, yang sebelumnya telah menjalani operasi mengakibatkan sebuah paru-parunya tidak berfungsi lagi. Panglima Besar berangkat ke Istana untuk menerima instruksi dari Presiden. Presiden menasihati agar Pangsar kembali ke rumah karena masih sakit. Keputusan untuk tetap tinggal di dalam kota sangat diluar dugaan Jenderal Sudirman. Ketika Presiden mengajak untuk tinggal di dalam Kota, Pangsar menjawab dengan kata “saya tidak mau tetap dalam kota. Buat saya yang penting adalah anak-anak buah say. Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan gerilya dengan sekuat tenaga seluruh perajurit”.
Jenderal Sudirman memang dengan sadar menmpuh resiko ini. Mati bagi seorang prajurit merupakan suatu resiko. Kalau tidak mau menempuh resiko ini jangan menjadi prajurit.

Hari itu juga jenderal sudirman meninggalkan Yogyakarta, memulai perjalanan gerilya yang akan berlangsung selama kurang lebih tujuh bulan lamanya. Buat seorang yang masih sakit, perjalanan seperti itu yakni naik gunung turun gunung, masuk hutan keluar hutan, berpindah ke suatu tempat ke tempat yang lain, bukanlah perjalannan yang ringan. Obat-obatan sulit diperoleh. Tak jarang Panglima Besar itu terpaksa kekurangan makanan selama beberapa hari. Tantangan yang harus dihadapi bertambah lagi sebab Belanda selalu berusaha menangkapnya. Seringkali terjadi di suatu tempat diserang dan dibom Belanda, padahal kira-kira setengah jam sebelumnya Jenderal Sudirman masih berada di situ.

Semula direncanakan Pangsar akan bermarkas di Kediri. Tetapi setelah tiba di tempat itu dan melakukan perundingan dengan Kolonel Sungkono, dinyatakan bahwa tempat tersebut tdak cukup aman. Oleh karena itu Jenderal Sudirman berusaha kembali ke daerah Jawa Tengah melalui jalan mengitari Gunng Wilis. Ketika berada di daerah Sedayu, ia hamper tertangka karena desa tersebut di dikepung dan diserang oleh Belanda, hanya karena turunnya hujan yang lebat Beliau berhasil menyelamatkan diri.

Selama bergerilya, Panglima Besar tetap mengeluarkan perintah-perintah hariannya berisi juga amanat baik untuk angkatan perang maupun rakyat pada umumnya. Panjang seluruh Route Gerilya pangsar Jenderal Sudirman, dihitung dari Yogyakarta sampai ke perbatasan Jawa Timur pergi dan pulang yaitu melalui 75 buah kota besar dan kota keci yang secara teoritis meliputi 900 kolometer. Pada kenyataan panjangnya menccapai 1.009 km yang sebagian besar ditempuh dnegan berjalan kaki.

Panglima besar Jenderal Sudirman dan rombongan memasuki kota Yogyakarta kembai tanggal 10 Juli 1949, kembali memenuhi panggilan Pmerintah Pusat di Ibukota Yogyakarta setelah kota itu bersih dari pendudukan musuh. Di kiri-kanan rakyat berjejel-jejel menyambut dengan meriah. Mereka ingin meliaht wajah Pangsar yang lebih suka memilih medan gerilya dari pada beristirahat di tempat tidur. Banyak diantara rakyat maupun prajurit yang selama bergerilya terkenal berani, tak urung eneteskan airmata atau menangis tersedu-sedu terutama waktu parade penyambutan Pangsar di Alun-alun Utara Yogyakarta. Setelah mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri keadaan fisik Pangsar yang pucat dan kurus rasa haru dan kagum bercampur menjadi satu. Hal itu menunjukkan betapa agungnya Jenderal Sudirman di hati anak buahnya.

Selama bergerilya kesehatan Jenderal Sudirman kurang baik, bahkan menurun dan beberapa kali beliau jatuh pingsan. Di Ygyakarta kesehatannya diperiksa kembali. Teryata paru-paru yang sebela lagi sudah pula terserang penyakit. Karena itu Pangsar diharuskan beristirahat di rumah sakit, tepatnya di rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta.

Kesehatan pangsar kian hari kian bertambah parah. Sing hari tanggal 29 Januari 1950 Jenderal Sudirman Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia berpulang di rahmatullah di pesanggrahan Militer, jalan Badaan, magelang. Jenazahnya dimakamkan esok harinya di Taman makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta.

Sabtu, 18 Juni 2011

RINGKASAN RIWAYAT HIDUP PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN #2

Perang Pasifik meletus, Angkatan Bersenjata Jepang menyerbu kubu pertahanan Amerika din hawai dan menyerbu daratan Asia kea rah selatan.

Dalam waktu singkat Pemerintah Hindia Belanda bertekuk lutut kepada pihak penyerbu dan menandatangi penyerahan pada tanggal 8 Maret 1942 di kalijati. Saat itu ulailah Penjajahan Jepang di Indonesia. Sebagai penjajah, Jepang mempropaganda diri sebagai “saudara tua” dan bahwa kelak kepada Indonesia akan di berikan  kemerdekaan setelah perang Asia Timur Raya memperoleh kemenangan. Berbagai organisasi dalam usaha untuk mendudukung rencana peperangan Asia Timur Raya guna mencapai kemenangan. Organisasi itu antara lain Gerakan 3 A, Putera Jawa Hookokai dan semacam Dewan Perwakilan rakyat yaitu Cuo Sangiin di tingkat pusat dan Syu Sangkai di tingkat karesidenan.

Di karesidenan Banyumas di bentuk Syu Sangkai. Sudirman dan Effendi dari daerah Cilacap terpilih sebagai anggota. Pembentukan Jawa Hookokai dilaksanakan pada tanggal 1944. Sudirman terpilih juga sebagai anggota, karena dipandang lebih berani mengungkapkan pendapat serta sikapnya membela rakyat terutama dalam bidang pengerahan ekonomi rakyat untuk kepentingan peperangan Jepang.

Dalam mempertahankan kedudukannya dari serangan balas sekutu. Jepang membentuk suatu tentara yang sifatnya regional, pemerintah Pendudukan Tentara jepang pada tahun 1943 membentuk pasukan yang diberi nama Peta (Pembela Tanah Air) di pulau Jawa dan pasukan yang sejenis di luar Jawa. Pembentukan pasukan Peta dimulai dengan melatih calon perwira di Tangerang dan berhasil baik. 

Pendidikan kemudian diadakan di bogor “Bo Ei Gyu Gun Renseilai” sebagai tempat untuk mendidik calon perwira Peta untuk dididik menjadi calon Daidanco, Cudanco dan Shodanco. Demikianlah Sudirman terpilih untuk mengikuti pendidikan Peta angkatan kedua sebagai calon Daidanco. Setelah selesai mengikuti pendidikan Sudirman memilih Deidan Peta di Kroya. Deidan Peta Kroya dalam kondisi tertib selama dijabat oleh Daidanco Sudirman. Beliau adalah tokoh daerah yang telah dikenal luas oleh masyarakat dan dicintai oleh anak buah dan mempunyai pengaruh yang luas di kalangan masyarakat.

Menjelang runtuhnya kekuasaan Jepang di Indonesia perasaan simpati terhadap Jepang sudah menipis dan mulai timbul perasaan antipati. Pada bulan Pebruari 1945 timbul pemberontakan Peta di Blitar di bawah pimpinan Shodanco Supriyadi. Tidak lama setelah pemberontakan di Blitar, timbul pemberontakan Peta Daidan Cilacap yaitu di Gumilir dibawah pimpinan Budanco Kusairi. Jepang mengetahui bhwa Daidanco Sudirman mempunyai pengaruh yang besar di daerah itu, memerintahkan Daidanco Sudirman untuk menyelesaikan dan menertibkan kembali pemberontakan tersebut. Pemberontakan dapat diselesaikan.

Pihak Jepang menaruh curiga terhadap perwira-perwira Peta yang mempunyai pengaruh besar baik d kalangan masyarakat maupun dari anggota bahannya. Dengan dalih akan diadakan latihan lanjutan di Renseitai Bogor maka Daidanco Sudirman dan perwira-perwira lainnya yang dicurigai dikirimkan ke Bogor. Keadaan sebenarnya bahwa mereka diisolir dari pasukan dan masyarakat. Di Bogor mereka dijadikan tahanan dan direncanakan oleh Jepang untuk dibunuh termasuk didalamnya Daidanco Sudirman. Tuhan telah menentukan jalan sejarah bangsa Indonesia. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Daidanco Sudirman dan para perwira Peta lainnya berhasil keluar meloloskan diri dari Renseitai Bogor. Beliau menuju Jakarta dan selanjutnya kembali ke Kroya untuk berjuang di daerah asalnya mulia tanggal 19 Agustus 1945. Setibanya di Kroya, Jenderal Sudirmna segera mengumpulkan bekas anggota Daidan III Kroya untuk menyusun kembali kekuatan Daidannya dalam rangka membela dan mempertahankan kemerdekaan.

Sementara itu dalam bulan November 1945 atas prakarsa Letnan Jenderal Urip Sumohardjo selaku kepala staf umum TKR diadakan konferensi TKR di Yogyakarta. Konferensi itu bertujuan untuk memilih seorang pimpinan TKR tertinggi, karena pimpinan TKR tertinggi yaitu Supriyadi tidak pernah menduduki posnya disebabkan kemungkinan telah dibunuh Jepang. Konferensi tersebut dihadiri oleh komandan-komandan devisi dan resimen. Dalam konferensi itu kolonel Sudirman, komandan divisi V TKR terpilih menjadi calon panglima besar, sedangkan Letnan Jenderal Urip Sumohardjo tetap menjadi kepala staf TKR. Selesai mengikuti konferensi TKR di Yogyakarta, Kolonel Sudorman segera kembali memimpin Divisi V melanjutkan gerakan mengusir Sekutu yang telah terdesak di Magelang.

Tentara Sekutu telah terpuku di Magelang kemudian mundur di Ambarawa. Kolonel Sudirman memperkuat Komando pasukannya dengan mengirim Kolonel isdiman guna mengkoordinirpasukan dalam rangka menyerbu Ambarawa. Pada tanggal 26 November 1945 terjadi serangan udara Sekutu terhadap pasukan TKR yang berada di desa Kelurahan. Dalam serangan udara tersebut gugur Letnan Kolonel Isdiman. Sesudah itu Jenderal Sudirman berangkat ke medan tempur dan mengadakan koordinasi dengan semua Komandan TKR  Jawa Tengah. Ia merencanakan serangan serentak terhadap Ambarawa.

Tepat pukul 04.30 pagi tanggal 12 Desember 1945 serangan mulai dilancarkan. Pertempuran segera berkobar di sekitar Ambarawa. Satu setengah jam kemudian jalan yang menghubungkan antara Ambarawa dengan Semarang telah dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Penggempuran Ambarawa semakin lama semakin sempurna. Tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir. Tentara Sekutu terdesak mundur ke Semarang dan kemenangan ini diperngati setiap tahun oleh Angkatan Darat sebagai Hari Infanteri dan semenjak tahun 1999 diperingati sebagai Hari Juang Kartika.

Kemenangan yang dicapai dalam pertempuran Ambarawa ini meyakinkan Pemerintah bahwa apa yang telah diputuskan dalam konferensi TKR bulan November itu, adalah tepat. Tanggal 18 Desember 1945 Sudirman dilantik menjadi Panglima Besar dengan pangkat Jenderal sedangkan Letnan Jenderal Urip Sumohardjo sebagai Kepala Staf Umum (KSU). Dihadapan para Perwira TKR Presiden Soekarno berkata “Ini panglima Besarmu”.

Portofolio Perancangan Media Promosi dan Publikasi Museum


portofolio 1

portofolio 2
portofolio 3
portofolio 4
portofolio 5
portofolio 6
portofolio 7
Portofolio 8
Portofolio 9
Portofolio 10
Portofolio 11
Portofolio 12
Portofolio 13
Portofolio 14
Portofolio 15

Selasa, 31 Mei 2011

MUSEUM SASMITALOKA PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN


Dalam rangka melestarikan nilai-nilai ’45 dan nilai-nilai TNI ’45, dipandang perlu adanya monument-monumen untuk mengabadikan peristiwa bersejarah dan tokoh-tokoh pelaku sejarah Angkatan Darat/TNI. Guna mewujudkan hal tersebut di atas, Dinas Sejarah Angkatan Darat mengabadikan gedung bekas kediaman Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak di Jln. Bintaran Wetan No.3 Yogyakarta menjadi “Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman”, seperti halnya dengan “Museum Sasmitaloka Jenderal TNI A. Yani”, di Jalan Lembang D.58 Jakarta.


Usaha menuju terwujudnya Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman dilakukan sejalan dengan usaha untuk mewujudkan Museum TNI Angkatan Darat tingkat pusat yang memadai. Rencana tersebut baru dapat terwujud pada tanggal 30 Agustus 1982, bertepatan dengan peresmian Museum Pusat TNI Angkatan Darat “Dharma Wiratama”. Secara simbolis Kasad Jenderal TNI Poniman telah berkenan meresmikan gedung bekas kediaman Panglima Besar Jenderal Soedirman menjadi “Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman”. Sasmitaloka tersebut merupakan tempat untuk mengabadikan riwayat hidup dan perjuangan almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Sasmitaloka berasal dari bahasa daerah yaitu bahasa Jawa. Secara etimologis berasal dari kata “sasmita” yang berarti pengeling-ngeling, mengingat, mengenang, dan “loka” sendiri berarti tempat. Jadi, Sasmitaloka Pangsar Jenderal Soedirman adalah merupakan tempat untuk mengenang pengabdian, pengorbanan dan perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Gedung induk berisi koleksi benda-benda yang dimiliki oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman beserta keluarga pada waktu beliau menempati gedung tersebut mulai tanggal 18 Desember 1945 sampai dengan tanggal 19 Desember 1948. Sedangkan gedung yang berada di sebelah kanan, belakang dan samping kiri dari gedung induk berisi koleksi benda-benda semasa pengabdian Panglima Besar Jenderal Soedirman dari masa setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, khususnya benda-benda semasa perjuangan yang dikenal dengan periode “Wiro Lelono”, hingga kembali ke Ibukota RI, Yogyakarta.


 



"Robek-robeklah badanku! Potong-potonglah jasadku ini! Tetapi jiwaku yang dilindungi benteng Merah Putih akan tetap hidup, tetap menuntut bela siapapun lawan yang akan dihadapi"


Demikianlah amanat sang Bapak TNI, Panglima Besar Jenderal Sudirman kepada para pemuda Indonesia atau lebih tepatnya adalah generasi penerus bangsa. Tak pelak Pak Dirman hingga kini sangat dikenal dan tetap dikenang. Salah satu bangunan yang bersejarah dan juga memiliki peran penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia adalah kediaman Pak Dirman, yang hingga kini tetap berdiri kokoh di Jl. Bintaran Wetan No.3 Yogyakarta.

Kini kediaman Pak Dirman tersebut telah resmi menjadi "Museum Sasmitaloka Panglima Besar Soedirman". Museum ini merupakan tempat untuk mengabadikan riwayat hidup dan perjuangan almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman.

SEJARAH SINGKAT GEDUNG

Gedung yang diabadikan menjadi Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman mempunyai riwayat yang cukup panjang sesuai dengan fungsi/pemakainya.


  1. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, gedung Induk tersebut merupakan tempat tinggal pejabat keuangan Puro Paku Alam VII.
  2. Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini dikosongkan dan barang-barangnya disita.
  3. Pada masa Pemerintahan Republik Indonesia, gedung Sasmitaloka ini telah digunakan antara lain:
a.  Selama 3 bulan digunakan sebagai Markas Kompi “Tukul” dari Batalyon Soeharto” (Presiden RI Kedua).
b.  Dari tanggal 18 Desember 1945 sampai dengan tanggal 19 Desember 1948, gedung ini menjadi tempat kediaman resmi Jenderal Soedirman, setelah beliau dilantik menjadi Panglima Besar TKR.
c. Pada masa perang kemerdekaan menghadapi Agresi Belanda II digunakan oleh Belanda sebagai Markas I.V.G (Informatie voor Geheimen) dari Brigade T.
d. Setelah pengakuan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 RI, gedung ini digunakan untuk :
1.  Markas Komando Militer Kota Yogyakarta
2.  Asrama Resimen Infanteri XIII dan Penderita Cacad (Invalid)
e.  Dari tanggal 17 Juni 1968 sampai dengan tanggal 30 Agustus 1982, telah digunakan sebagai Museum Angkatan Darat. Dari beberapa peristiwa yang berlangsung di gedung ini, jelaslah bahwa gedung yang diabadikan menjadi Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman telah mempunyai sejarah yang cukup mengesankan untuk disimak dan diresapi maknanya oleh setiap warga Negara RI, khususnya prajurit-prajurit TNI generasi penerus.

RINGKASAN RIWAYAT HIDUP PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN


Panglima Besar Jenderal Sudirman

Pada hari Senin Pon bulan Maulud tahun 1334 Hijriah di Dukuh Rembang, Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga lahirlah seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Soedirman. Dia lahir di rumah kediaman Asisten E\Wedana (Camat) R. Cokrosunaryo. Sejak bayi tersebut masih dalam kandungan ibunya telah disepakati menjadi anak dari Camat R. Cokrosunaryo. Ayah dari anak tersebut bernama Karsid Kartawiraji dan Ibunya bernama Siyem. Sejak kecil Soedirman diasuh dan dididik oleh R. Cokrosunaryo. Dua tahun kemudian keluarga Karsid Kartawiraji mempunyai putra lagi seorang anak laki-laki dan diberi nama Mokhamad Samingan. 

Setelah pension dari jabatannya sebagai Asisten Wedana, R. Cokrosunaryo tidak menetap di Rembang, Purbalingga. Keluarga R. Cokrosunaryo berikut keluarga Karsid Kartawiraji pindah ke Cilacap dan menetap di kampong Manggisan. Pada tahun 1923, Soedirman dimasukkan ke sekolah HIS (Holland Inlandsche School) di Cilacap. Kemudian masuk ke sekolah Taman Siswa. Pendidikannya dilanjutkan ke Sekolah MULO (Middelbar Uitgebreid Lagere Onderwijs) atau saat ini Sekolah Lanjutan Pertama di Wiworo Tomo Cilacap sampai tamat. Sejak di MULO Wiworo Tomo ini Soedirman dididik oleh Suwarjo Tirtosupono, seorang lulusan Akademi Militer Breda yang tidak ingin dilantik sebagai Opsir KNIL, tetapi memilih terjun ke pergerakan nasional. Dia dipercayai memimpin MULO Wiworo Tomo di Cilacap. 

Di samping kegiatan di sekolah, remaa Soedirman aktif dalam organisasi kepanduan (Pramuka) Hizbul Walthon (HW) yang diasuh oleh Muhammadiyah. Ia sangat aktif dalam organisasi ini. Dalam berbagai jamboree yang diadakan ia turut aktif mengambil bagian. Ia dikenal sebgaai pemuda yang penuh tanggung jawab, cakap, tangkas bermasyarakat dan disegani oleh teman-temannya. Peranan yang menonjol ini menumbuhkan kepercayaan dari kawan-kawannya. Semula Soedirman sebagai anggota biasa kepanduan HW, meningkat menjadi pimpinan untuk daerahnya dan kemudian menjadi pimpinan persatuan kepanduan Karisedenan Banyumas Tengah yang waktu itu meliputi daerah Jawa Tengah dan Priangan Timur. Dalam organisasi pemuda ia diberi kepercayaan pula sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah.

Sudirman yang aktif dalam kepanduan HW dan Pemuda Muhammadiyah itu kemudian mendapat kepercayaan untuk mendidik siswa HIS Muhammadiyah. Dia merasa terpanggil jiwanya mengemban tugas dengan penuh tanggung jawab untuk mendidik bangsanya yang masih berada dalam kungkungan penjajah. Ia menyadari bahwa ternyata pendidikan sangat penting karena tanpa adanya pendidikan sukar bangsanya untuk mencapai kemerdekaan.

Sebagai seorang guru, pergaulan beliau dengan sesame rekan pendidik penuh dengan pengertian, saling hormat-menghormati dan harga-menghargai sehingga tercapailah hubungan yang harmonis. Keberhasilan dalam tugas dan hubungan yang baik itu membuahkan kepercayaan dari pimpinan dan juga sesame rekan pendidik. Guru-guru pada sekolah tersebut memilih Sudirman untuk menduduki jabatan Kepala Sekolah. Pendapat para guru itu sejalan dengan pendapat pimpinan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah, maka beliau diangkat sebagai Kepala Sekolah HIS Muhammadiyah.

Pada tahun 1936 pemuda Sudirman memasuki lembaran baru dalam hidupnya. Ia menikah dengan gadis Alfiah, puteri dari R. Sastroatmojo, yakni seorang pedagang yang terpandang di daerah Plasen, Cilacap. Alfiah adalah teman sekolah di perguruan Wiworo Tomo. Sudirman sebagai siswa MULO Wiworo Tomo sedangkan Alfiah duduk di tingkat HIS. Keduanya sama-sama aktif dalam organisasi Pemuda Muhammadiyah. Dari perkawinan ini, Tuhan memberikan karunia 7 orang putera dan puteri. 

Menjelang pecahnya Perang Pasifik yaitu pada tahun 1941, pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa api peperangan yang telah berkobar di daratan Eropa akan menjalar ke Asia. Pemerintah Hindia Belanda membentuk Inhemse Militaire. Kepada rakyat mulai diberi penerangan serta latihan cara menghadapai bahaya udara . untuk keperluan itu dibentuklah LBD (Lunht Bescherming Diens) atau Penjagaan Bahaya Udara yaitu suatu badan keamanan yang tugasnya membantu dan menertibkan masyarakat di dalam menghadapi bahaya udara. Tokoh Sudirman memasuki Badan Penjagaan Bahaya Udara ini dan ditunjuk sebagai Kepala Sektor LBD Cilacap. Dalam mengemban tugasnya, beliau sering berkeliling member penerangan kepada rakyat umum tentang cara-cara menyelamatkan diri apabila terjadi serangan udara di daerahnya. Pos-pos penjagaan didirikan setiap 1 km dengan dilengkapi kentongan yang dijaga oleh anggita LBD. Di setiap kantor, sekolahan, pabrik dan tempat umum lainnya dibangun lubang perlindungan.

WEJANGAN SANG BAPAK TNI

“Ibu Pertiwi memanggil, siap maju jalan”
(Jawaban Pangsar Jenderal Sudirman ketika Belanda melancarkan agresinya yang pertama).

“ Kemerdekaan yang telah dimiliki dan dipertahankan jangan sekali-kali dilepaskan dan diserahkan kepada siapapun yang akan menjajah dan menindas kita”
(Pesan Pangsar ketika Belanda melancarkan agresinya yang pertama).

“…kamu bukanlah tentara sewaan, tetapi prajurit yang berideologi yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran tanah airmu. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan suatu Negara yang didirikan di atas timbunan reruntuhan ribuan jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dihapuskan oleh manusia siapapun juga…”
(Amanat Jenderal Sudirman untuk menghibur dan menabahkan hati para tentara yang hijrah ke luar daerah “garis van Mook”, di Borobudur).

“Saya tidak mau tetap dalam kota. Buat saya yang penting adalah anak-anak buah saya. Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan gerilya dengan sekuat tenaga seluruh prajurit”
(Jawaban Pangsar Sudirman kepada Presiden Soekarno ketika menerima instruksi untuk tetap tinggal di kota).

“Rungokno kandaku ya ngger, marga arep tak tinggal lunga. Kang prihatin nanging gembira ngupakara manungsa lara”
(“Dengarkan perkataanku anakku! Sebab akan saya tinggal pergi. Biar prihatin, tapi gembira. Dalam merawat orang sakit”, Nasehat Pangsar Jenderal Sudirman kepada putra-putrinya).

RUTE GERILYA PANGSAR JENDERAL SOEDIRMAN

Peta Rute Gerilya

GALERI SASMITALOKA

Tanda Penghargaan berupa Bintang Yudha Dharma Kelas I dan Bintang Kartika Eka Paksi Tingkat I milik Panglima Besar Jenderal Soedirman

Rabu, 11 Mei 2011

SASMITALOKA PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN

Museum Sasmilatoka Panglima Besar Jenderal Soedirman

Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman, adalah sebuah museum di Jalan Bintaran No. 3 Yogyakarta, yang merupakan sebuah tempat untuk mengenang pengabdian, pengorbanan dan perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Berikut merupakan general information Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Hari dan Jam Buka Museum
Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedriman dibuka setiap hari, dari pukul 08.00 sampai dengan 14.00 WIB. Khusus hari Jumat, museum dibuka pukul 10.00 sampai dengan 14.00 WIB. Dan untuk hari-hari besar, museum ditutup.
Bagi pengunjung rombongan berjumlah besar dihimbau untuk melapor terlebih dahulu, baik melalui surat, telepon atau datang ke kantor Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman di Jalan Bintaran Wetan No.3 Yogyakarta.

Pramuwidya
Bagi pengunjung baik pengunjung rombongan maupun perorangan yang memerlukan pembimbing (pramuwidya) dapat menghubungi pertugas di kantor.

Souvenir Shop
Bagi pengunjung yang memerlukan cinderamata disediakan di Souvenir Shop atau dapat menghubungi pertugas.

Parkir Kendaraan
Parkir kendaraan roda empat, berada di sepanjang Jl. Bintaran Wetan (sisi sebelah barat) atau Jl. Bintaran Tengah Yogyakarta. Sedangkan untuk kendaraan roda dua, bisa diparkir di belakang pos penjaga museum.

Angkutan Umum
Bus kota dari terminal Giwangan yang bisa dijadikan pilihan, antara lain :
- Jalur 4
- Jalur 6
- Jalur 12
- Jalur 15
- Jalur 10
- Jalur 2
Di samping itu, juga semua kendaraan umum yang melalui Jl. Sultan Agung, kemudian turun di pertigaan Jl. Bintaran Wetan (depan Apotik Suci).

Keamanan dan Kebersihan
Setiap pengunjung dimohon mengikuti dan mentaati peraturan Museum yang berlaku dan selalu menjaga kebersihan lingkungan.

Tempat Ibadah
Bagi pengunjung yang hendak melaksanakan ibadah disediakan Mushola yang berada di area Museum di bagian utara.