Selasa, 31 Mei 2011

MUSEUM SASMITALOKA PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN


Dalam rangka melestarikan nilai-nilai ’45 dan nilai-nilai TNI ’45, dipandang perlu adanya monument-monumen untuk mengabadikan peristiwa bersejarah dan tokoh-tokoh pelaku sejarah Angkatan Darat/TNI. Guna mewujudkan hal tersebut di atas, Dinas Sejarah Angkatan Darat mengabadikan gedung bekas kediaman Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak di Jln. Bintaran Wetan No.3 Yogyakarta menjadi “Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman”, seperti halnya dengan “Museum Sasmitaloka Jenderal TNI A. Yani”, di Jalan Lembang D.58 Jakarta.


Usaha menuju terwujudnya Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman dilakukan sejalan dengan usaha untuk mewujudkan Museum TNI Angkatan Darat tingkat pusat yang memadai. Rencana tersebut baru dapat terwujud pada tanggal 30 Agustus 1982, bertepatan dengan peresmian Museum Pusat TNI Angkatan Darat “Dharma Wiratama”. Secara simbolis Kasad Jenderal TNI Poniman telah berkenan meresmikan gedung bekas kediaman Panglima Besar Jenderal Soedirman menjadi “Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman”. Sasmitaloka tersebut merupakan tempat untuk mengabadikan riwayat hidup dan perjuangan almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Sasmitaloka berasal dari bahasa daerah yaitu bahasa Jawa. Secara etimologis berasal dari kata “sasmita” yang berarti pengeling-ngeling, mengingat, mengenang, dan “loka” sendiri berarti tempat. Jadi, Sasmitaloka Pangsar Jenderal Soedirman adalah merupakan tempat untuk mengenang pengabdian, pengorbanan dan perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Gedung induk berisi koleksi benda-benda yang dimiliki oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman beserta keluarga pada waktu beliau menempati gedung tersebut mulai tanggal 18 Desember 1945 sampai dengan tanggal 19 Desember 1948. Sedangkan gedung yang berada di sebelah kanan, belakang dan samping kiri dari gedung induk berisi koleksi benda-benda semasa pengabdian Panglima Besar Jenderal Soedirman dari masa setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, khususnya benda-benda semasa perjuangan yang dikenal dengan periode “Wiro Lelono”, hingga kembali ke Ibukota RI, Yogyakarta.


 



"Robek-robeklah badanku! Potong-potonglah jasadku ini! Tetapi jiwaku yang dilindungi benteng Merah Putih akan tetap hidup, tetap menuntut bela siapapun lawan yang akan dihadapi"


Demikianlah amanat sang Bapak TNI, Panglima Besar Jenderal Sudirman kepada para pemuda Indonesia atau lebih tepatnya adalah generasi penerus bangsa. Tak pelak Pak Dirman hingga kini sangat dikenal dan tetap dikenang. Salah satu bangunan yang bersejarah dan juga memiliki peran penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia adalah kediaman Pak Dirman, yang hingga kini tetap berdiri kokoh di Jl. Bintaran Wetan No.3 Yogyakarta.

Kini kediaman Pak Dirman tersebut telah resmi menjadi "Museum Sasmitaloka Panglima Besar Soedirman". Museum ini merupakan tempat untuk mengabadikan riwayat hidup dan perjuangan almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman.

SEJARAH SINGKAT GEDUNG

Gedung yang diabadikan menjadi Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman mempunyai riwayat yang cukup panjang sesuai dengan fungsi/pemakainya.


  1. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, gedung Induk tersebut merupakan tempat tinggal pejabat keuangan Puro Paku Alam VII.
  2. Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini dikosongkan dan barang-barangnya disita.
  3. Pada masa Pemerintahan Republik Indonesia, gedung Sasmitaloka ini telah digunakan antara lain:
a.  Selama 3 bulan digunakan sebagai Markas Kompi “Tukul” dari Batalyon Soeharto” (Presiden RI Kedua).
b.  Dari tanggal 18 Desember 1945 sampai dengan tanggal 19 Desember 1948, gedung ini menjadi tempat kediaman resmi Jenderal Soedirman, setelah beliau dilantik menjadi Panglima Besar TKR.
c. Pada masa perang kemerdekaan menghadapi Agresi Belanda II digunakan oleh Belanda sebagai Markas I.V.G (Informatie voor Geheimen) dari Brigade T.
d. Setelah pengakuan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 RI, gedung ini digunakan untuk :
1.  Markas Komando Militer Kota Yogyakarta
2.  Asrama Resimen Infanteri XIII dan Penderita Cacad (Invalid)
e.  Dari tanggal 17 Juni 1968 sampai dengan tanggal 30 Agustus 1982, telah digunakan sebagai Museum Angkatan Darat. Dari beberapa peristiwa yang berlangsung di gedung ini, jelaslah bahwa gedung yang diabadikan menjadi Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman telah mempunyai sejarah yang cukup mengesankan untuk disimak dan diresapi maknanya oleh setiap warga Negara RI, khususnya prajurit-prajurit TNI generasi penerus.

RINGKASAN RIWAYAT HIDUP PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN


Panglima Besar Jenderal Sudirman

Pada hari Senin Pon bulan Maulud tahun 1334 Hijriah di Dukuh Rembang, Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga lahirlah seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Soedirman. Dia lahir di rumah kediaman Asisten E\Wedana (Camat) R. Cokrosunaryo. Sejak bayi tersebut masih dalam kandungan ibunya telah disepakati menjadi anak dari Camat R. Cokrosunaryo. Ayah dari anak tersebut bernama Karsid Kartawiraji dan Ibunya bernama Siyem. Sejak kecil Soedirman diasuh dan dididik oleh R. Cokrosunaryo. Dua tahun kemudian keluarga Karsid Kartawiraji mempunyai putra lagi seorang anak laki-laki dan diberi nama Mokhamad Samingan. 

Setelah pension dari jabatannya sebagai Asisten Wedana, R. Cokrosunaryo tidak menetap di Rembang, Purbalingga. Keluarga R. Cokrosunaryo berikut keluarga Karsid Kartawiraji pindah ke Cilacap dan menetap di kampong Manggisan. Pada tahun 1923, Soedirman dimasukkan ke sekolah HIS (Holland Inlandsche School) di Cilacap. Kemudian masuk ke sekolah Taman Siswa. Pendidikannya dilanjutkan ke Sekolah MULO (Middelbar Uitgebreid Lagere Onderwijs) atau saat ini Sekolah Lanjutan Pertama di Wiworo Tomo Cilacap sampai tamat. Sejak di MULO Wiworo Tomo ini Soedirman dididik oleh Suwarjo Tirtosupono, seorang lulusan Akademi Militer Breda yang tidak ingin dilantik sebagai Opsir KNIL, tetapi memilih terjun ke pergerakan nasional. Dia dipercayai memimpin MULO Wiworo Tomo di Cilacap. 

Di samping kegiatan di sekolah, remaa Soedirman aktif dalam organisasi kepanduan (Pramuka) Hizbul Walthon (HW) yang diasuh oleh Muhammadiyah. Ia sangat aktif dalam organisasi ini. Dalam berbagai jamboree yang diadakan ia turut aktif mengambil bagian. Ia dikenal sebgaai pemuda yang penuh tanggung jawab, cakap, tangkas bermasyarakat dan disegani oleh teman-temannya. Peranan yang menonjol ini menumbuhkan kepercayaan dari kawan-kawannya. Semula Soedirman sebagai anggota biasa kepanduan HW, meningkat menjadi pimpinan untuk daerahnya dan kemudian menjadi pimpinan persatuan kepanduan Karisedenan Banyumas Tengah yang waktu itu meliputi daerah Jawa Tengah dan Priangan Timur. Dalam organisasi pemuda ia diberi kepercayaan pula sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah.

Sudirman yang aktif dalam kepanduan HW dan Pemuda Muhammadiyah itu kemudian mendapat kepercayaan untuk mendidik siswa HIS Muhammadiyah. Dia merasa terpanggil jiwanya mengemban tugas dengan penuh tanggung jawab untuk mendidik bangsanya yang masih berada dalam kungkungan penjajah. Ia menyadari bahwa ternyata pendidikan sangat penting karena tanpa adanya pendidikan sukar bangsanya untuk mencapai kemerdekaan.

Sebagai seorang guru, pergaulan beliau dengan sesame rekan pendidik penuh dengan pengertian, saling hormat-menghormati dan harga-menghargai sehingga tercapailah hubungan yang harmonis. Keberhasilan dalam tugas dan hubungan yang baik itu membuahkan kepercayaan dari pimpinan dan juga sesame rekan pendidik. Guru-guru pada sekolah tersebut memilih Sudirman untuk menduduki jabatan Kepala Sekolah. Pendapat para guru itu sejalan dengan pendapat pimpinan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah, maka beliau diangkat sebagai Kepala Sekolah HIS Muhammadiyah.

Pada tahun 1936 pemuda Sudirman memasuki lembaran baru dalam hidupnya. Ia menikah dengan gadis Alfiah, puteri dari R. Sastroatmojo, yakni seorang pedagang yang terpandang di daerah Plasen, Cilacap. Alfiah adalah teman sekolah di perguruan Wiworo Tomo. Sudirman sebagai siswa MULO Wiworo Tomo sedangkan Alfiah duduk di tingkat HIS. Keduanya sama-sama aktif dalam organisasi Pemuda Muhammadiyah. Dari perkawinan ini, Tuhan memberikan karunia 7 orang putera dan puteri. 

Menjelang pecahnya Perang Pasifik yaitu pada tahun 1941, pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa api peperangan yang telah berkobar di daratan Eropa akan menjalar ke Asia. Pemerintah Hindia Belanda membentuk Inhemse Militaire. Kepada rakyat mulai diberi penerangan serta latihan cara menghadapai bahaya udara . untuk keperluan itu dibentuklah LBD (Lunht Bescherming Diens) atau Penjagaan Bahaya Udara yaitu suatu badan keamanan yang tugasnya membantu dan menertibkan masyarakat di dalam menghadapi bahaya udara. Tokoh Sudirman memasuki Badan Penjagaan Bahaya Udara ini dan ditunjuk sebagai Kepala Sektor LBD Cilacap. Dalam mengemban tugasnya, beliau sering berkeliling member penerangan kepada rakyat umum tentang cara-cara menyelamatkan diri apabila terjadi serangan udara di daerahnya. Pos-pos penjagaan didirikan setiap 1 km dengan dilengkapi kentongan yang dijaga oleh anggita LBD. Di setiap kantor, sekolahan, pabrik dan tempat umum lainnya dibangun lubang perlindungan.

WEJANGAN SANG BAPAK TNI

“Ibu Pertiwi memanggil, siap maju jalan”
(Jawaban Pangsar Jenderal Sudirman ketika Belanda melancarkan agresinya yang pertama).

“ Kemerdekaan yang telah dimiliki dan dipertahankan jangan sekali-kali dilepaskan dan diserahkan kepada siapapun yang akan menjajah dan menindas kita”
(Pesan Pangsar ketika Belanda melancarkan agresinya yang pertama).

“…kamu bukanlah tentara sewaan, tetapi prajurit yang berideologi yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran tanah airmu. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan suatu Negara yang didirikan di atas timbunan reruntuhan ribuan jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dihapuskan oleh manusia siapapun juga…”
(Amanat Jenderal Sudirman untuk menghibur dan menabahkan hati para tentara yang hijrah ke luar daerah “garis van Mook”, di Borobudur).

“Saya tidak mau tetap dalam kota. Buat saya yang penting adalah anak-anak buah saya. Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan gerilya dengan sekuat tenaga seluruh prajurit”
(Jawaban Pangsar Sudirman kepada Presiden Soekarno ketika menerima instruksi untuk tetap tinggal di kota).

“Rungokno kandaku ya ngger, marga arep tak tinggal lunga. Kang prihatin nanging gembira ngupakara manungsa lara”
(“Dengarkan perkataanku anakku! Sebab akan saya tinggal pergi. Biar prihatin, tapi gembira. Dalam merawat orang sakit”, Nasehat Pangsar Jenderal Sudirman kepada putra-putrinya).

RUTE GERILYA PANGSAR JENDERAL SOEDIRMAN

Peta Rute Gerilya

GALERI SASMITALOKA

Tanda Penghargaan berupa Bintang Yudha Dharma Kelas I dan Bintang Kartika Eka Paksi Tingkat I milik Panglima Besar Jenderal Soedirman

Rabu, 11 Mei 2011

SASMITALOKA PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN

Museum Sasmilatoka Panglima Besar Jenderal Soedirman

Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman, adalah sebuah museum di Jalan Bintaran No. 3 Yogyakarta, yang merupakan sebuah tempat untuk mengenang pengabdian, pengorbanan dan perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Berikut merupakan general information Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Hari dan Jam Buka Museum
Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedriman dibuka setiap hari, dari pukul 08.00 sampai dengan 14.00 WIB. Khusus hari Jumat, museum dibuka pukul 10.00 sampai dengan 14.00 WIB. Dan untuk hari-hari besar, museum ditutup.
Bagi pengunjung rombongan berjumlah besar dihimbau untuk melapor terlebih dahulu, baik melalui surat, telepon atau datang ke kantor Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman di Jalan Bintaran Wetan No.3 Yogyakarta.

Pramuwidya
Bagi pengunjung baik pengunjung rombongan maupun perorangan yang memerlukan pembimbing (pramuwidya) dapat menghubungi pertugas di kantor.

Souvenir Shop
Bagi pengunjung yang memerlukan cinderamata disediakan di Souvenir Shop atau dapat menghubungi pertugas.

Parkir Kendaraan
Parkir kendaraan roda empat, berada di sepanjang Jl. Bintaran Wetan (sisi sebelah barat) atau Jl. Bintaran Tengah Yogyakarta. Sedangkan untuk kendaraan roda dua, bisa diparkir di belakang pos penjaga museum.

Angkutan Umum
Bus kota dari terminal Giwangan yang bisa dijadikan pilihan, antara lain :
- Jalur 4
- Jalur 6
- Jalur 12
- Jalur 15
- Jalur 10
- Jalur 2
Di samping itu, juga semua kendaraan umum yang melalui Jl. Sultan Agung, kemudian turun di pertigaan Jl. Bintaran Wetan (depan Apotik Suci).

Keamanan dan Kebersihan
Setiap pengunjung dimohon mengikuti dan mentaati peraturan Museum yang berlaku dan selalu menjaga kebersihan lingkungan.

Tempat Ibadah
Bagi pengunjung yang hendak melaksanakan ibadah disediakan Mushola yang berada di area Museum di bagian utara.